Ditengah resahnya masyarakat DIY dengan “kekuatan” Gunung merapi yang memporak-porandakan DIY dan sekitarnya kini masyarakat kembali lagi diganggu dengan isu yang tidak kalah heboh dengan isu merapai, yaitu tentang Keistimewaan DIY.
Dalam Sidang Kabinet, 26 Nopember, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi, dimana nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan serta tidak boleh ada sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi. Presiden menganggap bahwa sistem pemerintahan di DIY bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Pernyataan Presiden tersebut jelas membuat rakyat Yogyakarta marah, karena mereka merasa selama ini Yogyakarta tidak ada masalah dengan sistem pemerintahan yang ada sekarang. Mereka benar-benar merasa terganggu dengan adanya isu ini. Banyak yang beranggapan bahwa ini hanya trik pemerintah untuk mengalihkan isu-isu yang sedang panas seperti kasus Gayus dan Century.
Kita semua tahu bahwa Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki keistimewaaan. Istilah 'istimewa' mulai disandang Yogyakarta sejak 1950. Status 'istimewa' itu sendiri bukanlah kehendak Sultan atau rakyat Yogyakarta sendiri, melainkan diberikan pemerintah pusat, dalam hal ini Soekarno sebagai presiden terpilih setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Segera setelah Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta, Sri Sultan HB IX segera mengirimkan surat kawat kepada Soekarno yang berisi ucapan selamat dan dukungannya terhadap berdirinya Republik. Kawat Sultan itu segera dibalas Soekarno dengan menerbitkan sebuah dokumen yang disebut dengan piagam kedudukan Sri Sultan HB IX di dalam wilayah kekuasaan RI pada tanggal 19 Agustus 1945.
Sri Sultan HB IX bersama-sama dengan Sri Paku Alam VIII menyambut piagam kedudukan dari Presiden Soekarno itu dengan menerbitkan dokumen yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Dalam amanat itu pemimpin kedua kerajaan di Yogyakarta itu menyatakan diri bahwa Yogyakarta adalah bagian yang integral dari RI dan keduanya akan bertanggung jawab langsung terhadap presiden atas pelaksanaan pemerintahan dan kemakmuran rakyat Yogyakarta.
Kedua dokumen itu menjadi landasan pokok keluarnya UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. UU No 3 itu direvisi (atau lebih tepatnya ditambahkan) pemerintah pusat dalam UU No 19 Tahun 1950. Jika dilihat dari isi UU itu, jelas bahwa keistimewaan itu dimaknai pemerintah pusat memberikan dalam bentuk otonomi khusus, walaupun istilah itu tidak digunakan dalam UU itu. Otonomi khusus itu meliputi 13 bidang pada UU No 3 Tahun 1950 dan kemudian diperluas menjadi 15 bidang pada UU No 19 Tahun 1950, dari urusan pemerintahan umum, sosial, kebudayaan, pendidikan, agraria, hingga masalah transportasi dan lalu lintas.
Apa sebelum membuat peryataan seperti itu Presiden tidak melihat kebelakang tentang keistimewaan DIY? Itupun sistem monarki yang ada di DIY juga bukan monarki absolut yang sama sekali tidak melibatkan rakyat. Monarki di Yogyakarta adalah monarki terbatas (Monarki kultural). Karena untuk pemilihan kepala daerah seperti bupati, walikota, camat, lurah dll juga tetap mengikuti sistem yang sudah diterapkan pemerintah yaitu melalui pemilihan umum. Jika pemerintah juga mau merubah cara mendapatkan posisi Gubernur dari penetapan menjadi pemilihan, di mana lagi letak keistimewaan Yogyakarta?
Seharusnya pemerintah fokus dengan masalah-masalah yang ada saat ini, yang banyak merugikan bangsa ini. Jangan mencari masalah-masalah baru yang seharusnya itu tidak perlu dilakukan. Memang ada sistem Monarki di DIY, tapi sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi.
1 komentar:
setuju,,,
meskipun DIY menerapkan sistem monarki,tp dlm menjalankan pemerintahannya DIY ttp tunduk pd pemerinthan pusat,,sbnrnya ada bebrapa sebab DIY itu istimewa terutama dr segi sejarahnya,bahkan founding father qt pun mengakui akan keistimewaan tersebut...
Posting Komentar